Kala pagi menjelang orang-orang ramai memadati
jalan. Pejalan kaki, kendaraan umum maupun
pribadi ikut mengambil peran dalam
sesaknya pagi. Mereka siap bergelut
dengan pekerjaan yang menuntut keahlian, kepintaran, bahkan kecantikan dan ketampanan.
Perkantoran mulai membuka jalan bagi mereka yang ingin mendapatkan pekerjaan, tentunya dengan lulusan
yang sepadan. Fenomena yang tak
asing lagi dari Ibu
kota, orang berlomba-lomba giat bekerja untuk mendapatkan gaji yang sesuai dengan
keinginan, tak jarang
mereka siap lembur untuk mendapat gaji tambahan. Kebutuhan yang dahulu dianggap sekunder bahkan tersier, sekarang dianggap sesuatu yang harus
dipenuhi. Kebahagiaan yang fana ketika
semuanya telah mereka
miliki tapi tak
sempat mereka nikmati.
Ditengah Ibu kota, para
penguasa sedang sibuk rapat untuk membangun negeri yang
mengatasnamakan “Demokrasi”, tapi itu hanya
sampul dari negeri
kita ini. Dimana
lembaran-lembarannya diisi dengan fenomena safari, suap menyuap, korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dipinggiran Ibu kota, orang-orang
yang mengatasnamakan dirinya “rakyat” sedang bekerja, dari mulai
anak-anak yang terpaksa putus sekolah bahkan tidak
berpikir untuk sekolah, sampai orang-orang yang lanjut usia. Mereka
berkeliaran menjajakan jasanya ataupun dagangannya. Terlihat seorang anak laki-laki menuju sebuah
halte, bukan karna
ia ingin naik angkutan
umum ataupun bis, tapi ingin
menawarkan jasa semir
sepatu yang beberapa tahun ini ia lakoni, baginya dimana ada orang-orang di situ ada penghasilan.
Halte memang tempat yang
selalu ramai, setiap
orang bergantian menunggu angkutan
maupun jemputan yang
akan membawa mereka
ketempat tujuan, tak
jarang yang ditunggu lewat tak
tepat waktu, dan kebanyakan
dari mereka memanfaatkan
waktu luangnya dengan duduk sambil membaca koran, main gadget
dan ada juga yang
memakai jasanya untuk menyemir sepatu.
Dari kejauhan terlihat seorang pria menghampiri, duduk di
bangku halte yang
mulai terlihat kosong ditinggalkan
orang-orang yang telah naik angkutan. Dari cara berpakaian
yang rapih, raut wajahnya yang bersih terlihat kalau pria
ini orang kaya. Dia tersenyum melihat bocah itu dan
menyuruh membersihkan sepatunya, tapi bocah itu
heran karena sepatunya
sudah bersih mengkilap tidak ada kotoran, bocah itu berkata..
“Pak, sepatu bapak udah bersih. Saya bingung mau bersihin apanya”
“Bersihkan saja debu nya,
nak”, ujar pria itu sambil tersenyum..
Bocah itu mengangguk tapi menggaruk kepala..
Pria rapih itu mulai
membuka pembicaraan..
“Kamu gak sekolah?”
“Oh nggak pak, saya
udah berhenti sekolah”
“Lho, kenapa berhenti ?”
“Gak ada biaya pak, lagi pula saya harus
cari uang”
“Tapi kamu mau sekolah?”
“Mau pak, hhmm tapi kadang saya
mikir. Buat apa
jadi orang pintar,
mereka yang berpendidikan tinggi aja banyak yang jadi koruptor, banyak yang cuma tebar
janji-janji palsu. Apa memang kaya gitu kerjaan
mereka?”
“Hhmm kamu salah, mereka
memang berpendidikan tinggi, tapi mereka
tidak pintar. Buktinya, mereka mempertaruhkan
janji dan kekuasaannya demi uang. Dan
sebenanrnya itu tergantung diri kita sendiri
nak. Coba saya ingin dengar, memangnya kamu ingin negeri
kita ini seperti apa?”
“Sebenarnya saya selalu ngebayangin
pak, kalau didunia ini ada
yang namanya
negeri khayalan tanpa politik, karna hanya di negeri
khayalan gak ada
yang namanya permainan politik, gak ada
yang namanya janji-janji palsu yang
mengatasnamakan kepentingan rakyat. Gak ada
yang namanya KKN, karena
di negeri khayalan
itu orang-orangnya tidak haus
akan jabatan, kekuasaan, apalagi uang. Di negeri khayalan, orang-orang menikmati kebahagiaan, bukannya sibuk sama
pekerjaan sampai gak
sempat nikmatin hasil keringatnya gara-gara mikirnya cuma gimana caranya
kerja dan jadi
kaya. Padahal negeri kita ini
tanahnya seperti negeri khayalan pak, tanahnya subur, kaya
akan sumberdaya alam, tapi banyak
manusia yang serakah dan cuma
mikirin dirinya aja. Banyak generasi
muda yang terpaksa
putus sekolah bahkan nggak
sekolah karna keterbatasan
ekonomi, padahal mereka aset
untuk kemajuan negeri di
masa yang akan datang. Coba liat sekarang, mereka yang
kaya makin kaya dan
orang seperti kami ini
semakin miskin karna
apa ? karna kesempatan
yang kami punya
diambil oleh mereka
yang berkuasa. Di negeri
khayalan para penguasa
dan rakyatnya bekerjasama karena tujuan
mereka ingin membangun
negara yang sejahtera, seperti isi dari Pancasila.
Saya lihat setiap
hari senin sekolah,
instansi pemerintah mengadakan upacara dan mereka mengucap
isi dari pancasila,
tapi emang cuma
di ucapkan aja? Cuma
sebagai hiasan dalam upacara?.
Rasanya saya ingin pindah ke
negeri khayalan, tapi apa
mungkin ada negeri
yang seperti saya ceritakan.”
Pria itu tersenyum mendengar cerita seorang
anak penyemir
sepatu yang kritis tentang
keadaan negara ini..
“Ternyata kamu kritis juga ya?”
“Kebanyakan orang masa bodo sama keadaan negara kita ini, apalagi
orang seperti kami. Boro-boro mikirin negara pak, mikirin
besok makan apa, besok nasib
kami kaya gimana,
mikirin itu aja
ga selesai-selesai pak haha. Tapi, kalo
rakyatnya aja gak
kritis gimana bisa buat para
penguasa nyadar akan kesalahannya.
Oh iya pak
saya lupa, ini sepatunya
udah bersih, maaf ya
pak keasikan ngomong saya
jadi ngelantur gini”.
Ujar si anak sambil
memberikan sepatu.
“Ah gapapa, saya senang
kamu cerita ini. Kamu putus
sekolah tapi pemikiran
kamu berkembang, kamu mikir tentang
negara ini. Padahal di luar
sana mungkin banyak para penguasa yang tidak perduli dengan keadaan negara kita ini.
Kamu harus tau nak.
Seberapa tingginya jabatan, tingginya pendidikan seseorang, tapi jika dia tidak mencintai
negaranya, dia hanya hewan yang
pandai”
“Hhmm terimakasih pak
buat kata-katanya, saya
dapat pelajaran baru”. Jawab si anak tersenyum.
“Lho kenapa kamu yang
bilang terimakasih, harusnya saya. Kamu udah bersihin
sepatu saya dan buka mata saya
untuk jadi wakil
rakyat kita harus mengabdi
untuk rakyat. Ini bayaran untuk kamu, terimakasih nak untuk
cerita dan semir
sepatunya”
“Ja .. jadi bapak
ini wakil rakyat?”. Anak itu bertanya..
“Jangan bilang saya ini
wakil rakyat nak
karena saya belum mengabdi
untuk rakyat”.
Jawab pria itu sambil tersenyum dan meninggalkan
si anak..
Si anak hanya bisa melihat pria itu bergegas
pergi dan menaiki
sebuah mobil mewah
ditepi jalan, rasa
bingung karena untuk apa
wakil rakyat semir sepatu
dipinggir jalan, namun
ia senang karena ceritanya didengar. Dan si pria sadar, kalau
wakil rakyat adalah mereka
yang senantiasa mendengar aspirasi rakyat, dekat dengan rakyat
adalah langkah pertama membangun sebuah pemikiran yang terlanjur buruk menimpa para penguasa.
Negeri khayalan tanpa politik
mungkin hanya akan menjadi
khayalan si bocah
penyemir sepatu, tapi bagaimana
jika negeri khayalan itu
benar-benar ada. Masih adakah
manusia yang setia
hidup ditengah negara yang penuh dengan permasalahannya??....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar